ANDAI
saja semua karya tulis yang dipublikasikan (surat kabar, buku, novel, pamflet,
teks pidato presiden, dan lain-lain) selalu berkarakter lugas, baku, dan indah.
Maka, kapasitas berbahasa masyarakat kita akan terus terasah, selain kian
pintar. Betapa tidak, karena setiap naskah akan menjadi media bacaan menarik,
informatif, dan inspiratif.
Kelugasan
sebuah tulisan mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan ketulusan dalam
berbagi informasi-pengetahuan kepada siapa saja. Berbahasa baku berarti
melembagakan kesepakatan bersama: bahasa nasional. Dan, tulisan indah
menggambarkan minat berkesenian melalui teks. Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, lugas berarti: serba bersahaja; baku: tolok ukur yang berlaku untuk
kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Selama
ini, naskah-naskah berbahasa baku cenderung tidak lugas, dan kaku. Di lain
pihak, tulisan bergaya lugas (populer) sering dianggap abai terhadap aturan
resmi bahasa dan kesahihan data. Pada kasus yang lain lagi, sekadar contoh,
saya pernah menjumpai sebuah makalah seminar yang kalimat-kalimatnya tak
berspasi. Penulisnya seorang master bidang perbankan. Saya kira, ada persoalan
mental di situ, bahasa belum dipahami sebagai simbol etika bersama bangsa. Si
master tadi telah merampas hak orang untuk nyaman membaca.
Karya
tulis berkarakter "tiga yang menyatu" di atas memang mengandaikan
kapasitas penulis (para pihak yang menghasilkan bahasa tulis) yang bukan hanya
berwawasan luas dan berpengetahuan bahasa memadai. Tapi, karya itu juga mesti
berambisi untuk menghasilkan karya-karya yang "tanpa kelas" dan
estetik. Dan, untuk itu, karya seperti ini telah melakukan riset serta membaca
ulang naskah yang ia tulis.
Semua
tulisan yang dipublikasikan semestinya merujuk kepada pedoman Ejaan yang
Disempurnakan (EYD). Selanjutnya, pilihlah kosakata baku yang variatif,
susunlah struktur kalimat secara benar, dan gunakan gaya bahasa yang sederhana.
Sehingga, seserius atau seringan apa pun sebuah tema tulisan, ia menjadi karya
yang menarik, enak dibaca, dan berguna.
Tidak
semua naskah bermutu memiliki tiga ciri itu, semisal karya akademik atau
sastra. Karya sastra (selain prosa) tidak lugas lantaran mengutamakan
nilai-nilai estetika dan pendekatan metaforis. Tidak ada yang salah dalam hal
ini. Tetap saja diperlukan kapasitas tertentu agar kita bisa memahami karya
sastra dan naskah akademik.
Tapi,
teks kajian akademik pun tak harus angker. Sejumlah intelektual yang memiliki
tradisi kepenulisan andal mampu melahirkan kalimat-kalimat sederhana yang
mencerminkan keseriusan sebuah riset serta memuat analisis berbobot.
Dalam
kesadaran semacam itulah, saya kira, bagaimana karya Deliar Noer (almarhum),
Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES, 1982), dilahirkan. Tanpa
melihat judul naskah aslinya, pembaca tak akan percaya bahwa buku tersebut
merupakan naskah desertasi di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Buku babon
untuk kajian politik Islam di Indonesia itu mencerminkan kapasitas akademik dan
tradisi linguistik Noer. Karya tersebut terasa lugas meskipun terdapat banyak
catatan kaki.
Kesan
sederhana, bahkan indah, juga bisa dirasakan pada kalimat-kalimat panjang dalam
buku yang ditulis Taufik Abdullah. Membaca karya sejarawan kondang ini,
misalnya Sejarah Lokal di Indonesia (Gadjah Mada University Press, 1990), sebagaimana
puluhan buah pena Kuntowijoyo dan Umar Kayam,?umpamanya, serasa menikmati
tulisan populer. Meski memuat banyak diksi dan istilah fakultatif, lantaran
bergaya bahasa sederhana, tulisan mereka terasa ringan. Karya mereka reflektif.
Semangat
berbahasa semacam itu belum tampak pada ranah birokrasi. Bahasa publikasi
lembaga pemerintah umumnya kaku, bahkan acap tidak baku. Misalnya penulisan
akronim BAPPENAS atau PAMSIMAS. Huruf-huruf kapital tersebut tidak mewakili
satu kata tertentu sehingga harus ditulis Bappenas (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional) dan Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis
Masyarakat).
Tradisi
berbahasa lugas, baku, dan indah mencerminkan bangsa yang berkebudayaan:
responsif terhadap wacana; bangga berbahasa ibu, menyukai karya indah. Situasi
itu berlangsung, setidaknya akan dimulai, bila masyarakat tidak lagi
membeda-bedakan karya nonfiksi dan fiksi, akademik dan populer, sebagai naskah
penting-serius dan tidak serius. Simaklah karya Voltaire (sastrawan Prancis) dan
Bertrand Russel (pengarang dan filsuf Inggris), umpamanya, baik yang fiksi
maupun nonfiksi, yang ternyata menjadi sumber rujukan penting dalam kajian
filsafat, sastra, sosial, budaya, dan politik.
Spirit
seperti itu bisa dibaca pada hampir semua karya Karen Armstrong seperti
Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis atau Sejarah Tuhan. Ditulis dalam
bahasa yang ringan dan segar, karya tersebut bisa kita baca sembari menikmati
secangkir kopi di sore hari. Mungkin dahi Anda baru akan berkerut setelah usai membaca
karya bekas biarawati itu. (Majalah Tempo 09 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar