Kita pasti tahu dan ingat tentang penundaan masa haidh oleh
para perempuan di bulan Dzul Hijjah. Hal tersebut dilakukan demi pelaksanaan
ibadah haji yang sempurna bagi kaum hawa. Fiqh pun dapat melegitimasinya karena
ada tuntutan yang mendesak. Namun bagaimana bila penundaan masa haidh (ta’khīr al-haidh) dilakukan di bulan Ramadhan dengan alasan untuk
menggapai fadhilah yang tak terhingga di bulan penuh maghfirah dan penuh rahmat
tersebut?
Memang kalau dipikir dengan logika manusia biasa, sungguh
kasihan nasib para perempuan muslimah di bulan Ramadhan. Mereka seakan tidak
bisa dengan sempurna beribadah di bulan mulia ini. Sebab, secara hitungan
matematis, perempuan pasti mengalami haidh di bulan Ramadhan. Kalaupun masa haidhnya
hanya satu hari satu malam penuh, tetap saja ada 1 hari puasa dan tarawihnya
yang bolong.([1])
Intinya, para perempuan harus rela meninggalkan beberapa ibadah di bulan penuh
ampunan ini. Serangkaian ibadah seperti puasa, tarawih, tahajjud, tadarus, dan
lainnya tidak bisa lagi dilakukan oleh para perempuan.
Haidh dan perempuan adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Setiap perempuan dipastikan akan mengalaminya, karena darah haidh
merupakan sifat alamiyah setiap perempuan. Ketentuan ini sebagaimana
digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, bahwa haidh adalah
sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt untuk kaum perempuan([2]).
Oleh sebab itulah, para perempuan mendapat banyak dispensasi dalam beribadah,
salah satunya adalah ibadah puasa. Mereka hanya
diwajibkan mengqadha’nya. Demikianlah ketentuan ibadah puasa untuk kaum
perempuan, sehingga bila ada perempuan yang sedang haidh tetap memaksakan diri
untuk berpuasa maka haram dan tidak sah. Keharaman ini, menurut Al-Imam
As-Suyuthy masuk kategori hukum-hukum ta’abbudiyah. Beliau mengungkapkan:
و منها : تحريم الصوم على الحائض قال الإمام : لا
يعقل معناه لأنه إن كان لعدم الطهارة فالطهارة ليست شرطا في الصوم بدليل صحة صوم
الجنب و إن كان لكونه يضعفها فهذا لا يقتضي التحريم بل عدم الإيجاب بدليل ما لو
تكلف المريض أو المسافر فصاما مع الإجهاد فإنه يصح.
“Sebagian dari hukum-hukum ta’abbudiyah adalah pengharaman
puasa atas perempuan yang sedang haidh. Imam Haromain mengatakan: makna
pengharaman puasa tersebut tidak bisa dirasionalkan karena seandainya
pengharaman tersebut disebabkan status tidak suci pada hāidh maka sesungguhnya status suci adalah bukan termasuk
syarat puasa, buktinya orang dalam keadaan junub pun dapat dianggap sah
melaksanakan puasa. Pun seandainya keharaman puasa atas perempuan diberi alasan
karena puasa dapat melemahkan perempuan maka tentunya tidak semestinya pusa
diaharamkan bagi mereka, buktinya orang musafir atau orang sakit yang berpuasa
tidak diharamkan dan puasanya pun sah”.([3])
Pernyataan Imam As-Suyuthy ini menegaskan bahwa pengharaman
puasa atas perempuan yang sedang haidh adalah semata-mata ketentuan dari Allah
subhanahu wa ta’ala yang seharusnya diterima dengan lapang oleh kaum hawa.
Lantas, bagaimana bila para perempuan ‘tidak terima’ dengan keputusan Fiqh ini,
hingga mereka memaksakan diri untuk berpuasa dengan cara menunda masa haidhnya,
alasannya untuk merengkuh fadhilah Ramadhan yang mulia. Dengan begitu, mereka
akan merasa sama dengan para pria dalam mengais pahala di bulan Ramadhan?
Berkenaan dengan pertanyaan ini, Dr. Yusuf Qardhawi di
sela-sela kitab Fiqhu al-Shiyamnya menyebutkan,
وَالَّذِى يُوَافِقُ عَمَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى خَيْرِ
اْلقُرُوْنِ أَنْ تُسَايِرَ اْلمَرْأَةُ اْلفِطْرَةَ الَّتِى فَطَّرَ الله
النَّاسَ عَلَيْهَا. وَهَذَا اْلأَمْرُ كَتَبَهُ الله عَلىَ بَنَاتِ آدَمَ كَمَا
صَحَّ فىِ اْلحَدِيْثِ
وَلاَ حَرَجَ عَلىَ اْلمُسْلِمَةِ أَنْ تُفْطِرَ وَتَقْضِي مَا
فَتَاهَا بَعْدَ رَمَضَانَ _ كَمَا كاَنَ يَفْعَلُ نِسَاءُ اْلسَلَفِ اْلصَالْحِ _
عَلىَ أَنَّ تَنَاوُلَ هَذِهِ اْلحُبُوْبِ لَيْسَ مَمْنُوْعًا شَرْعًا إِذْ لاَ
دَلْيْلَ عَلَى مَنْعِهِ مَالَمْ يَكُنْ مِنْ وَرَائِهِ ضَرَرٌ لِلْمَرْأَةِ.
وَلِهَذَا يَحْسُنُ أَنْ يَكُوْنَ بِاسْتِشَارَةِ طَبِيْبٍ مُخْتَصٍّ أَوْ
تَكُوْنَ مُعْتَادَّةً مِنْ قَبْلُ…
وَقَدْ نَصَّ بَعْضُ فُقَهَاءِ اْلمُتَأَخِّرِيْنَ عَلىَ
جَوَازِ تَنَاوُلِ مَا يَرْفَعُ اْلحَيْضَ. فَقَدْ
ذَكَرَ الشَّيْخُ مَرْعَى فِى دَلِيْلِ الطَّالِبِ مِنْ كُتُبِ اْلحَنَابِلَةِ:
أَنَّ لِلْأُنْثَى شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِحُصُوْلِ اْلحَيْضِ وَلِقَطْعِهِ.
قَالَ شَارِحُهُ صَاحِبُ مَنَارِ السَّبِيْلِ: لأَنَّ
اْلأَصْلَ اْلحِلُّ حَتَّى يَرِدُ التَّحْرِيْمُ وَلَمْ يَرِدْ.
“Hal yang sesuai dengan amaliyah umat Islam pada masa-masa
terbaik, adalah: perempuan hendaknya tetap pada fitrahnya sebagaimana yang
telah difitrahkan oleh Allah padanya. Hal ini (haidh) merupakan perkara yang
telah ditetapkan Allah atas anak cucu Nabi Adam yang perempuan, sebagaimana
keterangan yang shahih dalam sebuah hadits.
Sebenarnya tidak mengapa bagi muslimah untuk tetap tidak
berpuasa (ketika haidh) dan mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya setelah bulan
Ramadhan _sebagaimana yang telah dilakukan para perempuan shalehah di masa
lalu_ berpijak pada pendapat bahwa mengkonsumsi obat-obatan semacam itu
(obat-abatan yang bisa menunda haidh) tidaklah dilarang secara syara` karena
tidak ada dalil yang melarangnya, dengan catatan tidak menimbulkan efek yang
membahayakan bagi perempuan. Oleh karena itu, pengkonsumsian obat-obatan
tersebut sebaiknya berdasarkan arahan dari dokter spesialis dan memang sudah
terbiasa dilakukan sebelumnya.
Sebagian ulama kontemporer telah menegaskan bahwa
pengkonsumsian obat untuk menghilangkan haidh tidaklah dilarang. Al-Syaikh
Mar`a dalam kitab Dalil al-Thalib, tergolong kitab Hanabilah, menyatakan:
“Seorang perempuan diperbolehkan mengkonsumsi obat agar bisa haidh atau agar
haidh bisa hilang”. Pengarang kitab tersebut menguatkan argumennya dalam kitab
Manaru al-Sabil : “Karena pada asalnya (setiap sesuatu) dalam keadaan yang
halal hingga ada dalil yang mengharamkannya, sedangkan (dalam persoalan ini)
tidak ditemukan dalil yang melarangnya”.([4])
Sangatlah bijak apa yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi
di atas, beliau tidak melarang secara tegas bagi para perempuan yang ingin
meminum obat demi menunda masa haidhnya. Namun, secara tersirat beliau lebih
cenderung agar perempuan kembali pada fitrahnya, yaitu menerima apa adanya
karunia yang telah diberikan kepada mereka. Dengan ungkapan lain, akan lebih
baik bila wanita tetap menjalani masa haidhnya di bulan puasa dan mengqadha’nya
di bulan-bulan lain. Kalau pun toh sangat ingin full beribadah di bulan
Ramadhan dengan minum obat maka bimbingan ketat dari dokter adalah harga mati
yang tidak bisa ditawar.
Yang perlu digarisbawahi dan dicamkan baik-baik adalah
bimbingan dokter dalam meminum obat anti haidh. Hal ini disebabkan efek samping
dari minum obat secam itu tidak main-main. Menurut para pakar kesehatan, efek
samping yang mungkin ditimbulkan dari minum obat semacam ini adalah rasa nyeri
dibagian payudara, mual, kembung, sakit kepala, perubahan mood, kram pada kaki,
munculnya jerawat, bahkan sampai terjadinya kemandulan.([5])
Kesimpulan:
Biar bagaimanapun pada asalnya para perempuan seharusnya
menerima apa adanya ketentuan puasa untuk mereka ketika dibenturkan pada
persoalan haidh. Kebolehan meminum obat anti haidh yang didasarkan pada
ketiadaan dalil yang melarangnya, sebenarnya pun masih menimbulkan beberapa
persoalan,
Pertama, tidak ada
jaminan yang pasti (dalil sharih) yang menyatakan bahwa pahala perempuan yang
menunda masa haidh untuk beribadah penuh di bulan Ramadhan adalah lebih besar
daripada perempuan yang tidak menunda masa haidhnya. Bahkan, besar kemungkinan
wanita yang menjalani masa haidh secara normal di bulan Ramadhan akan lebih
banyak mendapatkan pahala dari Allah karena ia telah menerima dengan lapang
ketetapan dari-Nya.
Kedua, kebiasaan
yang terus-menerus pada wanita yang menunda masa haidhnya dengan tujuan
merengkuh pahala Ramadhan secara penuh sedikit mencurigakan. Pasalnya, tujuan
tersebut dimungkinkan hanya menjadi penutup tujuan lain yang kurang baik, semisal
tujuan untuk menghindari qadha’ di bulan-bulan lain. Qadha’ di bulan lain tentu
menyusahkan, karena ketika qadha’ tidak ada orang yang berpuasa, sehingga puasa
terasa berat. Beda halnya dengan puasa bersama-sama di bulan Ramadhan yang
terasa ringan karena dilakukan bersama keluarga.
Dua persoalan ini harus dipertimbangkan dengan cermat oleh
para perempuan yang akan menunda masa haidhnya demi ibadah di bulan Ramadhan
agar mereka tidak sia-sia melakukannya. Bukankah, ibadah di bulan Ramadhan
tidak harus melulu pada puasa, tadarus, dan tarawih saja..??? Bersedekah,
dzikir, menyiapkan hidangan berbuka puasa, memberi konsumsi orang tadarus,
membangunkan suami, anak-anak dan saudara untuk shalat malam, adalah
rentetan ibadah yang bisa menjadi ibadah alternatif untuk para perempuan yang
sedang mengalami haidh. Tentu pahala dari ibadah alternatif tersebut tidak akan
dipandang sepele oleh Allah Sang Pemilik Bulan Ramadhan.
Wallahu A’lamu…
([1]) Dalam madzhad Syafi’iyyah,
minimal masa haidh yang dialami perempuan adalah satu hari satu malam penuh
atau 24 jam.
([2]) Shahih Al-Bukhari, juz 1,
h. 490
([3]) As-Suyuthy, Al-Asybah Wa
An-Nadho’ir, juz 1 h. 638
([4]) Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqhu
al-shiyam, h. 40-41
([5]) health.kompas.com/read/2012/09/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar