Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

Join us on Facebook

Side Ads

Cari Blog Ini

My Facebook

.

.

Puasa Lancar Tanpa Haid

Senin, 15 Juli 2013

Kita pasti tahu dan ingat tentang penundaan masa haidh oleh para perempuan di bulan Dzul Hijjah. Hal tersebut dilakukan demi pelaksanaan ibadah haji yang sempurna bagi kaum hawa. Fiqh pun dapat melegitimasinya karena ada tuntutan yang mendesak. Namun bagaimana bila penundaan masa haidh (ta’khīr al-haidh) dilakukan di bulan Ramadhan dengan alasan untuk menggapai fadhilah yang tak terhingga di bulan penuh maghfirah dan penuh rahmat tersebut?

Memang kalau dipikir dengan logika manusia biasa, sungguh kasihan nasib para perempuan muslimah di bulan Ramadhan. Mereka seakan tidak bisa dengan sempurna beribadah di bulan mulia ini. Sebab, secara hitungan matematis, perempuan pasti mengalami haidh di bulan Ramadhan. Kalaupun masa haidhnya hanya satu hari satu malam penuh, tetap saja ada 1 hari puasa dan tarawihnya yang bolong.([1]) Intinya, para perempuan harus rela meninggalkan beberapa ibadah di bulan penuh ampunan ini. Serangkaian ibadah seperti puasa, tarawih, tahajjud, tadarus, dan lainnya tidak bisa lagi dilakukan oleh para perempuan.

Haidh dan perempuan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setiap perempuan dipastikan akan mengalaminya, karena darah haidh merupakan sifat alamiyah setiap perempuan. Ketentuan ini sebagaimana digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, bahwa haidh adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt untuk kaum perempuan([2]). Oleh sebab itulah, para perempuan mendapat banyak dispensasi dalam beribadah, salah satunya adalah ibadah puasa. Mereka hanya diwajibkan mengqadha’nya. Demikianlah ketentuan ibadah puasa untuk kaum perempuan, sehingga bila ada perempuan yang sedang haidh tetap memaksakan diri untuk berpuasa maka haram dan tidak sah. Keharaman ini, menurut Al-Imam As-Suyuthy masuk kategori hukum-hukum ta’abbudiyah. Beliau mengungkapkan:

و منها : تحريم الصوم على الحائض قال الإمام : لا يعقل معناه لأنه إن كان لعدم الطهارة فالطهارة ليست شرطا في الصوم بدليل صحة صوم الجنب و إن كان لكونه يضعفها فهذا لا يقتضي التحريم بل عدم الإيجاب بدليل ما لو تكلف المريض أو المسافر فصاما مع الإجهاد فإنه يصح.

Sebagian dari hukum-hukum ta’abbudiyah adalah pengharaman puasa atas perempuan yang sedang haidh. Imam Haromain mengatakan: makna pengharaman puasa tersebut tidak bisa dirasionalkan karena seandainya pengharaman tersebut disebabkan status tidak suci pada hāidh maka sesungguhnya status suci adalah bukan termasuk syarat puasa, buktinya orang dalam keadaan junub pun dapat dianggap sah melaksanakan puasa. Pun seandainya keharaman puasa atas perempuan diberi alasan karena puasa dapat melemahkan perempuan maka tentunya tidak semestinya pusa diaharamkan bagi mereka, buktinya orang musafir atau orang sakit yang berpuasa tidak diharamkan dan puasanya pun sah”.([3])

Pernyataan Imam As-Suyuthy ini menegaskan bahwa pengharaman puasa atas perempuan yang sedang haidh adalah semata-mata ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang seharusnya diterima dengan lapang oleh kaum hawa. Lantas, bagaimana bila para perempuan ‘tidak terima’ dengan keputusan Fiqh ini, hingga mereka memaksakan diri untuk berpuasa dengan cara menunda masa haidhnya, alasannya untuk merengkuh fadhilah Ramadhan yang mulia. Dengan begitu, mereka akan merasa sama dengan para pria dalam mengais pahala di bulan Ramadhan?

Berkenaan dengan pertanyaan ini, Dr. Yusuf Qardhawi di sela-sela kitab Fiqhu al-Shiyamnya menyebutkan,

وَالَّذِى يُوَافِقُ عَمَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى خَيْرِ اْلقُرُوْنِ أَنْ تُسَايِرَ اْلمَرْأَةُ اْلفِطْرَةَ الَّتِى فَطَّرَ الله النَّاسَ عَلَيْهَا. وَهَذَا اْلأَمْرُ كَتَبَهُ الله عَلىَ بَنَاتِ آدَمَ كَمَا صَحَّ فىِ اْلحَدِيْثِ

وَلاَ حَرَجَ عَلىَ اْلمُسْلِمَةِ أَنْ تُفْطِرَ وَتَقْضِي مَا فَتَاهَا بَعْدَ رَمَضَانَ _ كَمَا كاَنَ يَفْعَلُ نِسَاءُ اْلسَلَفِ اْلصَالْحِ _ عَلىَ أَنَّ تَنَاوُلَ هَذِهِ اْلحُبُوْبِ لَيْسَ مَمْنُوْعًا شَرْعًا إِذْ لاَ دَلْيْلَ عَلَى مَنْعِهِ مَالَمْ يَكُنْ مِنْ وَرَائِهِ ضَرَرٌ لِلْمَرْأَةِ. وَلِهَذَا يَحْسُنُ أَنْ يَكُوْنَ بِاسْتِشَارَةِ طَبِيْبٍ مُخْتَصٍّ أَوْ تَكُوْنَ مُعْتَادَّةً مِنْ قَبْلُ

وَقَدْ نَصَّ بَعْضُ فُقَهَاءِ اْلمُتَأَخِّرِيْنَ عَلىَ جَوَازِ تَنَاوُلِ مَا يَرْفَعُ اْلحَيْضَ. فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ مَرْعَى فِى دَلِيْلِ الطَّالِبِ مِنْ كُتُبِ اْلحَنَابِلَةِ: أَنَّ لِلْأُنْثَى شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِحُصُوْلِ اْلحَيْضِ وَلِقَطْعِهِ. قَالَ شَارِحُهُ صَاحِبُ مَنَارِ السَّبِيْلِ: لأَنَّ اْلأَصْلَ اْلحِلُّ حَتَّى يَرِدُ التَّحْرِيْمُ وَلَمْ يَرِدْ.

Hal yang sesuai dengan amaliyah umat Islam pada masa-masa terbaik, adalah: perempuan hendaknya tetap pada fitrahnya sebagaimana yang telah difitrahkan oleh Allah padanya. Hal ini (haidh) merupakan perkara yang telah ditetapkan Allah atas anak cucu Nabi Adam yang perempuan, sebagaimana keterangan yang shahih dalam sebuah hadits.

Sebenarnya tidak mengapa bagi muslimah untuk tetap tidak berpuasa (ketika haidh) dan mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya setelah bulan Ramadhan _sebagaimana yang telah dilakukan para perempuan shalehah di masa lalu_  berpijak pada pendapat bahwa mengkonsumsi obat-obatan semacam itu (obat-abatan yang bisa menunda haidh) tidaklah dilarang secara syara` karena tidak ada dalil yang melarangnya, dengan catatan tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi perempuan. Oleh karena itu, pengkonsumsian obat-obatan tersebut sebaiknya berdasarkan arahan dari dokter spesialis dan memang sudah terbiasa dilakukan sebelumnya.

Sebagian ulama kontemporer telah menegaskan bahwa pengkonsumsian obat untuk menghilangkan haidh tidaklah dilarang. Al-Syaikh Mar`a dalam kitab Dalil al-Thalib, tergolong kitab Hanabilah, menyatakan: “Seorang perempuan diperbolehkan mengkonsumsi obat agar bisa haidh atau agar haidh bisa hilang”. Pengarang kitab tersebut menguatkan argumennya dalam kitab Manaru al-Sabil : “Karena pada asalnya (setiap sesuatu) dalam keadaan yang halal hingga ada dalil yang mengharamkannya, sedangkan (dalam persoalan ini) tidak ditemukan dalil yang melarangnya”.([4])

Sangatlah bijak apa yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi di atas, beliau tidak melarang secara tegas bagi para perempuan yang ingin meminum obat demi menunda masa haidhnya. Namun, secara tersirat beliau lebih cenderung agar perempuan kembali pada fitrahnya, yaitu menerima apa adanya karunia yang telah diberikan kepada mereka. Dengan ungkapan lain, akan lebih baik bila wanita tetap menjalani masa haidhnya di bulan puasa dan mengqadha’nya di bulan-bulan lain. Kalau pun toh sangat ingin full beribadah di bulan Ramadhan dengan minum obat maka bimbingan ketat dari dokter adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.

Yang perlu digarisbawahi dan dicamkan baik-baik adalah bimbingan dokter dalam meminum obat anti haidh. Hal ini disebabkan efek samping dari minum obat secam itu tidak main-main. Menurut para pakar kesehatan, efek samping yang mungkin ditimbulkan dari minum obat semacam ini adalah rasa nyeri dibagian payudara, mual, kembung, sakit kepala, perubahan mood, kram pada kaki, munculnya jerawat, bahkan sampai terjadinya kemandulan.([5])

Kesimpulan:

Biar bagaimanapun pada asalnya para perempuan seharusnya menerima apa adanya ketentuan puasa untuk mereka ketika dibenturkan pada persoalan haidh. Kebolehan meminum obat anti haidh yang didasarkan pada ketiadaan dalil yang melarangnya, sebenarnya pun masih menimbulkan beberapa persoalan,

Pertama, tidak ada jaminan yang pasti (dalil sharih) yang menyatakan bahwa pahala perempuan yang menunda masa haidh untuk beribadah penuh di bulan Ramadhan adalah lebih besar daripada perempuan yang tidak menunda masa haidhnya. Bahkan, besar kemungkinan wanita yang menjalani masa haidh secara normal di bulan Ramadhan akan lebih banyak mendapatkan pahala dari Allah karena ia telah menerima dengan lapang ketetapan dari-Nya.

Kedua, kebiasaan yang terus-menerus pada wanita yang menunda masa haidhnya dengan tujuan merengkuh pahala Ramadhan secara penuh sedikit mencurigakan. Pasalnya, tujuan tersebut dimungkinkan hanya menjadi penutup tujuan lain yang kurang baik, semisal tujuan untuk menghindari qadha’ di bulan-bulan lain. Qadha’ di bulan lain tentu menyusahkan, karena ketika qadha’ tidak ada orang yang berpuasa, sehingga puasa terasa berat. Beda halnya dengan puasa bersama-sama di bulan Ramadhan yang terasa ringan karena dilakukan bersama keluarga.

Dua persoalan ini harus dipertimbangkan dengan cermat oleh para perempuan yang akan menunda masa haidhnya demi ibadah di bulan Ramadhan agar mereka tidak sia-sia melakukannya. Bukankah, ibadah di bulan Ramadhan tidak harus melulu pada puasa, tadarus, dan tarawih saja..??? Bersedekah, dzikir, menyiapkan hidangan berbuka puasa, memberi konsumsi orang tadarus,  membangunkan suami, anak-anak dan saudara untuk shalat malam, adalah rentetan ibadah yang bisa menjadi ibadah alternatif untuk para perempuan yang sedang mengalami haidh. Tentu pahala dari ibadah alternatif tersebut tidak akan dipandang sepele oleh Allah Sang Pemilik Bulan Ramadhan.
Wallahu A’lamu…

([1]) Dalam madzhad Syafi’iyyah, minimal masa haidh yang dialami perempuan adalah satu hari satu malam penuh atau 24 jam.
([2]) Shahih Al-Bukhari, juz 1, h. 490
([3]) As-Suyuthy, Al-Asybah Wa An-Nadho’ir, juz 1 h. 638
([4]) Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqhu al-shiyam, h. 40-41
([5]) health.kompas.com/read/2012/09/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Telu Wolu 38

Most Reading

Jadwal Waktu Sholat