Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

Join us on Facebook

Side Ads

Cari Blog Ini

My Facebook

.

.

Takut Itu Wajar

Jumat, 17 Agustus 2012

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.

Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.

Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkat sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.

Maha suci Allah dengan segala tanda-tanda kekuasaan-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:
Duhai dekatnya surgaHarum dan dingin minumannyaOrang Romawi telah dekat dengan adzabnyaMereka kafir dan jauh nasabnyaJika bertemu, aku harus membunuhnya
Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.

Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang. Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.”

Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:
Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!Kamu harus turun atau kamu akan dipaksaBila manusia bersemangat dan bersuaraMengapa aku melihatmu enggan terhadap surga
Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:
Wahai jiwakuJika tidak terbunuh kamu juga pasti matiIni adalah takdir yang akan kau hadapiJika kamu bernasib seperti mereka berduaBerarti kamu mendapat hidayah
Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar, semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!

Takut, risau dan galau sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan menjadi alasan untuk kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan. Karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang, kemudian kita mencari-cari alas an untuk menghindar dengan dalih strategi dan langkah pintar, “menunduk untuk menanduk”, “mengalah untuk menang”, “mundur untuk menyerang” atau yang lainnya.

Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.

Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri, meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bishshawab.



Gubahan dari Kisah Ispirasi penerang.com

Uang Yang Ada Dalam Peredaran “Najiskah” ?

Kamis, 19 Juli 2012

Sebagaimana kita ketahui bahwa uang yang beredar di masyarakat tidak selamanya jatuh dalam genggaman tangan-tangan orang islam. Seringkali uang yang merupakan alat tukar-menukar barang ini juga singgah dan bersarang untuk beberapa lama dalam genggaman orang-orang non muslim yang notabene tidak memperhatikan masalah najis atau sucinya suatu barang, bahkan untuk bahan makanan mereka. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum kesucian uang tersebut? Bolehkah kita membawanya ketika melaksanakan sholat?.

Mengenai najis atau tidaknya suatu benda, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba alawiy memaparkan sebuah kaidah yang pernah dikemukakan oleh Sayyid Abdullah bin Umar bin Abu Bakar bin Yahya,

كُلُّ عَيْنٍ لَمْ تَتَيَقّنْ نجَاَسَتُهَا لَكِنْ غَلَبَت النَّجَاسَةُ فِي جِنْسِهَا كَثِيَابِ الصِّبْيَانِ وجَهَلَةِ الجَزّارِيْنَ والْمُتَدَيّنِيْنَ مِنَ الكُفَّارِ بِالنَّجَاسَةِ كَأَكْلِهِ الخَنَازِيْرِ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ فِيْهَا الْعَمَلُ بِالْأَصْلِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ

“Setiap benda yang belum diketahui secara pasti tentang kenajisannya akan tetapi ada kemungkinan besar (biasanya) terkena najis, seperti pakainnya anak-anak, para tukang jagal yang tidak mengenal hukum, dan orang-orang kafir yang makanan kesehariannya adalah makanan yang najis seperti daging babi, pendapat terkuat mengatakan bahwa hukum benda tersebut adalah suci, sebab mengikuti hukum asal suatu benda adalah suci.”
Dalam hal ini hukumnya dikembalikan pada hukum asal suatu benda, yaitu suci selama tidak ada keyakinan akan najisnya benda tersebut. Sehingga keraguan akan najisnya benda tersebut tidak dapat mempengaruhi hukum asalnya. Dalam satu kaidah fiqih disebutkan,

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

“suatu keyakinan tak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan”.

Kaidah ini merupakan kesimpulan dari sabda baginda rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

عن عَبْدِ اللهِ بْن زَيْدٍ -رضي الله عنه- أنَّهُ قَالَ: شُكِيَ إلَى النَّبِي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ، فَقَالَ صَلّى الله عَلَيْه وسَلّم: (لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَجِدَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا). رواه الشيخان

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu anhu, beliau berkata: “ada seseorang yang diadukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa dia (dalam shalatnya) merasa seakan-akan menemukan sesuatu (buang angin-kentut), maka rasulullah shallallhu alaihi wasallam bersabda : “janganlah orang tersebut meninggalkan shalatnya (membatalkannya) sampai dia benar-benar yakin bahwa dia hadats, dengan mendengar suara atau mencium baunya”. H.R Bukhari – Muslim

وكُلُّ عَيْنٍ تَيَقَّنَّا نَجَاسَتُهَا وَلَوْ بِمُغَلَّظٍ ثُمَّ احْتَمَلَ طَهَارَتُهَا وَلَوْ عَلَى بُعْدٍ لَا تَنْجُسُ مُلَاقَاتُهُ

“Setiap benda yang diketahui secara pasti (yaqin) tentang kenajisannya meskipun terkena najis mugholladzoh kemudian ada kemungkinan sucinya benda tersebut meskipun dengan kemungkinan yang sangat jauh (suci dengan suatu proses yang sangat langka), maka menyentuh benda tersebut tidak dihukumi terkena najis.”

Namun demikian beliau menambahkan suatu kalimat susulan yang berbunyi,

نَعَمْ يُكْرَهُ إِسْتِعْمَالُ كُلِّ مَا احْتَمَلَ النَّجَاسَةُ عَلَى قُرْبٍ

“Akan tetapi makruh hukumnya menggunakan benda-benda yang kemungkinan besar terkena najis.”

Kesimpulan:

Shalat dengan mengantongi uang adalah:
  • Boleh dan sah tanpa adanya kemakruhan, jika tidak ada keyakinan akan najisnya uang tersebut (yakin bahwa uang yang dibawa tidak najis).
  • Sah tapi makruh, jika tahu bahwa uang yang dibawa baru saja berpindah tangan dari orang yang biasanya bersinggungan dengan najis.
  • Tidak sah dan haram, jika yakin (dengan cara melihat sendiri atau mendapat kabar dari orang yang bisa dipercaya) bahwa uang tersebut terkena najis.
Wallahu a’lam bishshawab.

Antara Akal, Nafsu Dan Puasa

Rabu, 20 Juni 2012

Alkisah sebelum Allah swt menciptakan akal dan nafsu yang hendak diletakkan dalam diri Adam alaihissalam terlebih dahulu Allah menguji keduanya agar kelak dikemudian hari Adam dan anak cucunya tahu fungsi dari keduanya, cara menggunakan dan menaklukkan keduanya.
Saat Allah menciptakan akal, Allah bertanya kepada akal: “Siapakah kamu, siapakah Aku ?”
“Saya hamba, Engkau Tuhan.” Jawab akal
Kemudian Allah memerintahkankan akal agar maju ke depan dan mundur ke belakang. Akal mematuhi perintah Allah. Hal ini menunjukkan bahwa akal begitu taat kepada Allah.
“Wahai akal, sesungguhnya Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia ketimbang dirimu” Puji Allah terhadap akal.
Setelah itu Allah menciptakan nafsu. Ketika Allah bertanya kepada nafsu: “Hai nafsu, siapa engkau, siapa Aku ?”
Nafsu menjawab dengan sikap membantah, “Engkau Engkau, aku aku.”
Karena itulah Allah murka kepadanya dan memberikan didikan kepada nafsu agar insaf. Allah memasukkan nafsu kedalam neraka jahannam selama 100 tahun, ia dipukul dan dibakar hingga hangus menjadi arang. Kemudian setelah nafsu dikeluarkan dari neraka, Allah bertanya lagi kepadanya,
“Hai nafsu, siapa engkau, siapa Aku ?”
Nafsu menjawab dengan sikap membantah, “Engkau Engkau, aku aku.”
Nafsu belum sadar akan penciptaannya, Allah perintahkan agar nafsu dipenjarakan selama 100 tahun dengan tidak diberi makan atau pun minum, keadaan nafsu saat itu benar-benar lemah karena lapar dan dahaga. Setelah genap 100 tahun Allah keluarkan nafsu dari ruang tahanan “lapar dan dahaga” Allah bertanya lagi kepadanya,
“Siapa engkau, siapa Aku?”
Setelah semua itu, barulah nafsu mengenal Tuhannya, ia menjawab, “Engkau Tuhan, aku hamba”
Ternyata untuk mengalahkan nafsu yang ada dalam diri manusia tidak perlu dibakar, dipukul melainkan dengan dikarantina dalam penjara “lapar dan dahaga” atau yang kemudian dikenal dengan nama PUASA.
“Sesungguhnya syaitan itu bergerak mengikuti aliran darah, maka persempitlah jalan syaitan dengan lapar dan dahaga.” (HR. Mutafaq ‘Alaih) [1]
Setelah itu Allah memasukkan akal dan nafsu ke dalam diri Adam alaihissalam dan saat Nabi Adam datang ke bumi, keturunan manusia bertambah banyak. Maka peranan nafsu dan akal tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kemungkaran yang terjadi di atas muka bumi ini adalah dari nafsu, bukan dari akal. [2]
Karena akal dan nafsu ada dalam diri manusia, maka terjadilah pertentangan antara keduanya. Peperangan nafsu dan akal tidak pernah ada henti-hentinya. Kadang-kadang nafsu yang menang, kadang-kadang akal yang menang. Buktinya, jika kita berhadapan dengan perbuatan yang baik, maka nafsu akan menolaknya dan mengajak kepada kejahatan sedangkan akal mengajak kepada kebaikan. Kalau kita mengikuti nafsu, artinya kita kalah. Sebaliknya, jika kita mengikuti akal maka kita menang.
Namun bagaimanapun nafsu tetap diperlukan oleh manusia. Bila nafsu musnah, manusia juga akan musnah. Sebagai contoh adalah nafsu makan. Nafsu makan tidak akan hilang karena merupakan fitrah alami manusia. Jika nafsu makan tidak ada, manusia akan mati. Begitu juga dengan nafsu terhadap lawan jenis. Jika nafsu ini tidak ada, maka manusia tidak akan berketurunan.
Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah dan memberitahukan bahwa ia ingin membunuh nafsunya agar ia dapat bersungguh-sungguh berjuang. Tetapi Rasulullah melarang karena Rasulullah sendiri juga berumah tangga dan beliau menyukai jika umatnya mempunyai keturunan yang banyak. Pernah juga ada seorang sahabat yang mengatakan kepada Rasulullah bahwa ia ingin berpuasa terus menerus agar dapat lebih berbakti kepada Allah. Rasulullah juga melarangnya karena Baginda sendiri juga berpuasa dan berbuka. Rasulullah juga tetap bermasyarakat dan berjuang untuk menegakkan kehidupan di dunia dan dan Akhirat. Jadi, Rasulullah memberi jalan tengah. Nafsu ini tetap diperlukan untuk manusia. Akan tetapi, jangan sampai salah langkah sehingga membawa kita ke Neraka. Rasulullah bersabda tentang nafsu ini,
“Ada dua lubang yang dapat menyebabkan seseorang masuk ke Neraka, yaitu lubang faraj dan lubang mulut.” (Riwayat Tirmidzi) [3]
Nafsu juga dapat kita jadikan kuda untuk ke Syurga. Sebagian orang jika mendengar kata nafsu, hanya terbayang hal-hal yang jahat saja. Sedangkan nafsu itu adakalanya jahat, adakalanya baik. Nafsu akan menjadi baik jika dilatih. Imam Al Ghazali mengibaratkan nafsu itu sebagai anjing, jika dilatih akan menjadi baik. [4]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
§  Setiap sesuatu memiliki alat dan mesin, alat orang-orang mukmin adalah akalnya
§  Setiap sesuatu memiliki kendaraan, kendaraan orang-orang mukmin adalah akalnya
§  Setiap sesuatu memiliki tiang penyangga, tiang penyangga agama adalah akal
§  Setiap kaum memiliki bendera, benderanya hamba-hamba Allah adalah akalnya
§  Setiap kaum memiliki penyeru, penyeru orang-orang ahli ibadah adalah akalnya
§  Setiap pedagang memiliki harta dagangan, harta dagangan para Mujtahid adalah akalnya
§  Setiap keluarga memiliki nilai, nilai keluarga orang-orang jujur adalah akalnya
§  Setiap kehancuran terdapat pembangunan, pembangunan akhirat terletak pada akal
§ Setiap seseorang memiliki kesudahan yang membuatnya dikenang dan diingat, Kesudahan yang membuat dikenang dan diingat orang-orang jujur terletak pada akalnya
§ Setiap orang bepergian memiliki tenda menginap, tenda orang-orang mukmin adalah akalnya. (HR. Ibnu Mujbir dan alHarits). [ Ihyaa’ I/84-85 ].
Ya Ilahi, Jadikan selalu akalku sebagai pemenang dalam mengalahkan nafsu yang selalu menuntunku durhaka terhadap-Mu, jadikan RAMADHAN ini sebagai sarana untuk melunakkan nafsuku demi menggapai Ridho-Mu dan sarana kembali mengenal-Mu.. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin...
Catatan ini di buat pada 03 Agustus 2010 jam 10:48 dan alhamdulillah banyak menyebar di internet...^^

1. Disebutkan dalam Kitab Ihya’ I/232, Berkata al-‘Iraaqy “Hadits ini riwayatnya mutafaq ‘alaih dari Shafiyyah kecuali pada kalimat maka persempitlah jalan syaitan dengan lapar dan dahaga, ini landasan kalangan sufi.
2. Hikayah terdapat pada kitab Durrah an-Naashikhiin Hal. 13
3. Ibnu Maajah menganggap shahih hadits ini dari riwayat Abu Hurairoh (Ihyaa’ ‘Uluumiddin III/109)
4. Ihyaa’ ‘Uluumiddin III/173

Lagi Pengen Nulis Aja...

Senin, 21 Mei 2012


Kawan…

Sebagai mahluk yang serba kurang, sepantasnyalah jika senantiasa meluapkan panjatan puji dan syukur yang tiada terhingga pada Yang Maha Sempurna, Allah Subhanahu Wa ta’ala. Dialah yang telah menganugerahkan sebagian dari bias-bias kesempurnaan_Nya melalui makhluk teragung, paling sempurna diantara yang pernah tercipta. Dialah Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam sang perombak peradaban dunia dengan aturan-aturan serta kajian-kajian yang takkan pernah terbantahkan sampai kapanpun juga. Suatu aturan serta kajian yang bernuansakan wahyu ilahiyyah.

Semoga sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan atas Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan keluarga serta Sahabat-sahabatnya Radliyallahu Anhum Ajma’ien, Amien.

Kawan…

Setiap orang diciptakan dalam keadaan bebas_merdeka, terlepas dari segala tuntutan dan tekanan_pressure dari pihak manapun. Mereka sendirilah yang seringkali menjadikan diri meraka diperbudak oleh pihak lain (dunia_segala sesuatu selain Allah). Entah apa yang melatar belakangi hal ini, mereka dengan senang hati dan bangga diri menobatkan diri sebagai budak dunia yang dengan begitu mudahnya diombang-ambingkan kesana kemari.

Mungkin, kalau saya boleh bilang.. penyebab dari semua itu adalah kosongnya hati serta pikiran meraka dari pengetahuan tentang agama_islam yang dengannya seseorang akan memiliki bobot yang tinggi sehingga takkan mudah tergoyahkan oleh terpaan taufan dunia.

Dengan tertanamnya nilai-nilai agama di dalam hati yang senantiasa dipupuk dengan kajian-kajian ilmiyyah melalui jalur-jalur diskusi, musyawarah, pengajian ta’lim dan sebagainya, maka akan terwujudlah pribadi yang tangguh, tahan banting dan siap untuk mengemban amanah dan tanggung jawab penciptaan yang utama, yaitu menjadi khalifatullah fil_ardl (para pengemban amanat Allah dalam mengatur dunia).

Oleh sebab itulah dalam Blog ini saya ingin sedikit berbagi pengetahuan serta pengalaman demi tegaknya agam Allah di muka bumi ini, sebagai bentuk tanggung jawab moral ats sabda Rasulullah Shallallahu Alihi Wa Sallam :

بَـلّغُـوْا عَـنِّـي وَلَـوْ آيَـةً . . . .

“sampaikanlah oleh kalian apa-apa yang datang dariku meski hanya satu ayat… “

Juga termotivasi oleh sabda Beliau yng lain :

مَـنْ دَعَـا إِلَى هُــدًى كَانَ لـَهُ مِـنَ الأَجْـرِ مـِثْـلُ أُجُـورِ مَـنْ تَبِـعَـهُ لا يَنْـقُـصُ ذَلـِكَ مِـنْ أُجُـورِهِـمْ شَـيْـئًا

“siapa saja yang mengajak kepada petunjuk (agama Allah) maka baginya bagian pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa berkurang sediktpun”.

Wallaahu Yuwaffiqunaa ilaa Sawaa’is Sabiel, Amien.

Adaptasi Kemaksiatan

Sabtu, 21 April 2012

Ini kisah yang cukup populer. Saya pertama kali mendengarnya sekitar tahun 2003 di sebuah kampus di Surabaya. Ijinkan saya untuk menyampaikannya kembali bagi Anda.

Alkisah, ada seorang ilmuwan ingin mengadakan eksperimen. Untuk itu ia harus merebus seekor katak hidup-hidup. Ia pun menyiapkannya. Diambilnya sebuah panci, diisinya dengan air secukupnya lalu diletakkan di atas tungku. Dengan sabar ia menunggu hingga air mendidih. Air pun mendidih lalu diambillah si katak malang, lalu dimasukkanlah katak tersebut ke air yang tengah mendidih tersebut.

Namun apa yang terjadi? Si katak yang merasakan suhu yang berubah drastis kontan sigap. Ia kaget, ia tanggap, katak pun kontan melompat keluar dari panci. Si Katak kali ini selamat.

Namun si ilmuwan yang gagal dengan percobaan pertamanya tak kehilangan akal. Kali ini ia menyiapkannya dengan cara yang berbeda.

Diambilnya lagi sebuah panci yang lain, dan sama seperti sebelumnya, ia isi dengan air lalu ia letakkan ke atas tungku. Namun sebelum ia nyalakan tungkunya, dengan air dalam kondisi masih dingin, ia masukkan si katak ke dalam panci. Si katak yang memang biasa dengan air, pun merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini, toh hitung-hitung mandi berendam. Si ilmuwan pun menyalakan tungkunya, namun kali ini apinya kecil saja agar air tak cepat mendidih.

Perlahan namun pasti air dalam panci pun menjadi kian hangat. Namun si Katak masih nyaman-nyaman saja, “sekalian mandi air hangat” begitu pikirnya. Namun air pun kian menghangat, dan menghangat, si katak masih merasa nyaman dan aman. Hingga satu titik, ketika air sudah mulai sangat panas, kali ini si katak sudah tak tahan, ia mencoba melompat. Namun sayang, kali ini ia tak bisa. Air sudah terlalu panas dan si katak sudah terlalu lemah. Akhirnya si Katak pun mati, terebus bersama air panas tersebut.

Sadar atau tidak, adakalanya kita menemukan orang-orang yang menjadi katak ini. Atau jika mau jujur bercermin, boleh jadi kita-lah katak tersebut. Ketika seorang shalih diajak untuk bermaksiat terang-terangan sudah pasti ia akan menolak. Namun syaithan sungguh cerdas, alih-alih langsung terang-terangan, setan akan mendekatinya dengan perlahan-lahan, membuainya hingga terasa aman, nyaman, menjadi kebiasaan, hingga akhirnya yang ada hanyalah penyesalan. Sadar atau tidak, si shalih telah beradaptasi terhadap kemaksiatan.

Jika api besar dan air mendidih adalah dosa besar, maka api kecil adalah dosa-dosa kecil yang kita biarkan, yang kita anggap biasa, lumrah, wajar, atau bahkan kita merasa nyaman-nyaman saja dengannya. Sebagaimana air hangat yang melenakan, pelan namun pasti dosa kecil kian memanaskan kita hingga suhu yang membinasakan.

Terlebih manusia sering meremehkan ha-hal yang ada embel-embelnya “kecil”, batu kecil, uang kecil, anak kecil, dan termasuk pula dosa kecil. Sehingga tak jarang kita pun tak ambil pusing dengan dosa-dosa kecil yang kita perbuat. Jangankan taubat, istighfar pun seolah tak sempat. Kita merasa aman, kita nyaman, padahal ini strategi jitu syaithan yang menyesatkan,

Maka benarlah Rasulullah yang mengajak kita untuk mewaspadai dosa-dosa kecil. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad Rasulullah bersabda, “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil. Hal itu tidak ubahnya seperti sekelompok orang yang turun ke sebuah lereng gunung. Mereka masing-masing membawa sebatang ranting kayu sehingga dengan ranting-ranting kayu itu bisa mereka masak roti. Dosa-dosa kecil kapan saja di lakukan oleh seseorang ia akan menjadi celaka”.

Karena memang dosa kecil yang dibirkan ibarat titik kecil yang ditoreh dia atas kertas. Satu titik memang tak ada apa-apanya dibandingkan luasnya putih kertas. Namun jika ditorehkan berkali-kali , dan berkali-kali, tanpa henti, tanpa pernah kita menghapusnya, pada akhirnya kita pun merasa asing dengan warna putih kertas semula. Maka lihat, apa yang kita anggap sepele, satu titik hitam di kertas putih, namun jika diteruskan maka putihnya kertas kan berubah menjadi hitam.

Inilah cerdasnya syaithan, tak diajaknya seorang ustadz untuk langsung berzina, diajaknya ia untuk sekedar memandang sambil berkata “toh ini cuman memandang”, berlanjut saling SMS-an dengan perkataan yang sama “toh cuma SMS”, berlanjut memberi perhatian, pertemuan, pegang tangan, pacaran dan seterusnya sampai terjadilah zina. Sampai disinipun adakalanya timbul kerasnya hati, “toh nanti bisa bertaubat”. Bahkan ampunanNya pun kini dianggapnya remeh.

Tak diajaknya seorang muslim untuk langsung murtad. Dihembuskannya sedikit demi sedikit apa yang menarik hatinya, bisa lawan jenis, jabatan, kedudukan, harta, atau hal-hal non materi seperti jaminan, kebebasan ataupun kemenangan. Dibuatlah sedikit demi sedikit apa yang bertentangan dengan agama menjadi indah, dan kita pun terpesona dengannya. Disisi lain ditampakkanlah agamanya dengan sesuatu yang buruk-buruk, dianggap kuno, nggak gaul, radikal, teroris. Dibuatlah kita membenci apa yang selama ni kita yakini, di awal kita mendiamkan teman yang menjelek-jelekkan agama, esoknya kita lah yang membelanya, bahkan menggantikannya berbicara hal sama. Dibuatlah ucapan soal Tuhan, Surga dan Neraka adalah dongeng khayalan orang terdahulu, tanpa sadar kita pun mengangguk-angguk. Pelan tanpa pasti, sadar atau tidak, akidah itu pun lepas begitu saja.

Sebagaimana saya, boleh jadi Anda pun menemuinya di sekitar kita. Ada teman yang dahulunya ketua rohis, kini berubah layaknya preman. Ada yang dahulunya begitu aktif ikut pengajian, kini alergi dengan hal-hal keislaman. Ada yang dahulu begitu rapat ia menutup aurat, kini begitu nyaman ia buka-bukaan. Bahkan ada pula yang dahulu ikut sholat dengan khusyuknya, namun kini berpindah agama, menyembah selain Allah yang Esa.

Dan begitulah cara syaithan menyesatkan anak adam. Sebagaimana kisah katak yang direbus, begitulah manusia dijerumuskan perlahan-lahan, begitu sadar semuanya sudah terlambat. Luka fisik, rasa, isak tangis, penjara, hamil luar nikah, ataupun cacat seumur hidup sungguh masih tak ada apa-apanya dibanding panasnya nyala neraka akibat tiadanya taubat. Sesal di dunia masih ada obatnya, sesal di akhirat hendak kemana kita lari dari siksaNya?

Maka sebelum terlambat, sudah saatnya kita bangun, tanggap, sadar, dan segera melompat dari panci dosa-dosa kecil, sebelum panasnya membuat kita kian terlena, lalu binasa. Mengutip nasehat sahabat saya, pada akhirnya kita harus sadar bahwa ini bukan soal besar kecilnya sebuah maksiat, namun yang terpenting ialah, kepada siapa kita bermaksiat?



Sumber
http://www.kisahinspirasi.com
 
Powered by Telu Wolu 38

Most Reading

Jadwal Waktu Sholat