Ini kisah yang cukup populer. Saya pertama kali mendengarnya
sekitar tahun 2003 di sebuah kampus di Surabaya. Ijinkan saya untuk
menyampaikannya kembali bagi Anda.
Alkisah, ada seorang ilmuwan ingin mengadakan eksperimen.
Untuk itu ia harus merebus seekor katak hidup-hidup. Ia pun menyiapkannya.
Diambilnya sebuah panci, diisinya dengan air secukupnya lalu diletakkan di atas
tungku. Dengan sabar ia menunggu hingga air mendidih. Air pun mendidih lalu
diambillah si katak malang, lalu dimasukkanlah katak tersebut ke air yang
tengah mendidih tersebut.
Namun apa yang terjadi? Si katak yang merasakan suhu yang
berubah drastis kontan sigap. Ia kaget, ia tanggap, katak pun kontan melompat
keluar dari panci. Si Katak kali ini selamat.
Namun si ilmuwan yang gagal dengan percobaan pertamanya tak
kehilangan akal. Kali ini ia menyiapkannya dengan cara yang berbeda.
Diambilnya lagi sebuah panci yang lain, dan sama seperti
sebelumnya, ia isi dengan air lalu ia letakkan ke atas tungku. Namun sebelum ia
nyalakan tungkunya, dengan air dalam kondisi masih dingin, ia masukkan si katak
ke dalam panci. Si katak yang memang biasa dengan air, pun merasa nyaman-nyaman
saja dengan kondisi ini, toh hitung-hitung mandi berendam. Si ilmuwan pun
menyalakan tungkunya, namun kali ini apinya kecil saja agar air tak cepat
mendidih.
Perlahan namun pasti air dalam panci pun menjadi kian
hangat. Namun si Katak masih nyaman-nyaman saja, “sekalian mandi air hangat”
begitu pikirnya. Namun air pun kian menghangat, dan menghangat, si katak masih
merasa nyaman dan aman. Hingga satu titik, ketika air sudah mulai sangat panas,
kali ini si katak sudah tak tahan, ia mencoba melompat. Namun sayang, kali ini
ia tak bisa. Air sudah terlalu panas dan si katak sudah terlalu lemah. Akhirnya
si Katak pun mati, terebus bersama air panas tersebut.
Sadar atau tidak, adakalanya kita menemukan orang-orang yang
menjadi katak ini. Atau jika mau jujur bercermin, boleh jadi kita-lah katak
tersebut. Ketika seorang shalih diajak untuk bermaksiat terang-terangan sudah
pasti ia akan menolak. Namun syaithan sungguh cerdas, alih-alih langsung
terang-terangan, setan akan mendekatinya dengan perlahan-lahan, membuainya
hingga terasa aman, nyaman, menjadi kebiasaan, hingga akhirnya yang ada
hanyalah penyesalan. Sadar atau tidak, si shalih telah beradaptasi terhadap
kemaksiatan.
Jika api besar dan air mendidih adalah dosa besar, maka api
kecil adalah dosa-dosa kecil yang kita biarkan, yang kita anggap biasa, lumrah,
wajar, atau bahkan kita merasa nyaman-nyaman saja dengannya. Sebagaimana air
hangat yang melenakan, pelan namun pasti dosa kecil kian memanaskan kita hingga
suhu yang membinasakan.
Terlebih manusia sering meremehkan ha-hal yang ada
embel-embelnya “kecil”, batu kecil, uang kecil, anak kecil, dan termasuk pula
dosa kecil. Sehingga tak jarang kita pun tak ambil pusing dengan dosa-dosa
kecil yang kita perbuat. Jangankan taubat, istighfar pun seolah tak sempat.
Kita merasa aman, kita nyaman, padahal ini strategi jitu syaithan yang
menyesatkan,
Maka benarlah Rasulullah yang mengajak kita untuk mewaspadai
dosa-dosa kecil. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad Rasulullah bersabda,
“Hati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil. Hal itu tidak ubahnya seperti
sekelompok orang yang turun ke sebuah lereng gunung. Mereka masing-masing
membawa sebatang ranting kayu sehingga dengan ranting-ranting kayu itu bisa
mereka masak roti. Dosa-dosa kecil kapan saja di lakukan oleh seseorang ia akan
menjadi celaka”.
Karena memang dosa kecil yang dibirkan ibarat titik kecil
yang ditoreh dia atas kertas. Satu titik memang tak ada apa-apanya dibandingkan
luasnya putih kertas. Namun jika ditorehkan berkali-kali , dan berkali-kali,
tanpa henti, tanpa pernah kita menghapusnya, pada akhirnya kita pun merasa
asing dengan warna putih kertas semula. Maka lihat, apa yang kita anggap
sepele, satu titik hitam di kertas putih, namun jika diteruskan maka putihnya
kertas kan berubah menjadi hitam.
Inilah cerdasnya syaithan, tak diajaknya seorang ustadz
untuk langsung berzina, diajaknya ia untuk sekedar memandang sambil berkata
“toh ini cuman memandang”, berlanjut saling SMS-an dengan perkataan yang sama
“toh cuma SMS”, berlanjut memberi perhatian, pertemuan, pegang tangan, pacaran
dan seterusnya sampai terjadilah zina. Sampai disinipun adakalanya timbul
kerasnya hati, “toh nanti bisa bertaubat”. Bahkan ampunanNya pun kini
dianggapnya remeh.
Tak diajaknya seorang muslim untuk langsung murtad.
Dihembuskannya sedikit demi sedikit apa yang menarik hatinya, bisa lawan jenis,
jabatan, kedudukan, harta, atau hal-hal non materi seperti jaminan, kebebasan
ataupun kemenangan. Dibuatlah sedikit demi sedikit apa yang bertentangan dengan
agama menjadi indah, dan kita pun terpesona dengannya. Disisi lain
ditampakkanlah agamanya dengan sesuatu yang buruk-buruk, dianggap kuno, nggak
gaul, radikal, teroris. Dibuatlah kita membenci apa yang selama ni kita yakini,
di awal kita mendiamkan teman yang menjelek-jelekkan agama, esoknya kita lah
yang membelanya, bahkan menggantikannya berbicara hal sama. Dibuatlah ucapan
soal Tuhan, Surga dan Neraka adalah dongeng khayalan orang terdahulu, tanpa
sadar kita pun mengangguk-angguk. Pelan tanpa pasti, sadar atau tidak, akidah
itu pun lepas begitu saja.
Sebagaimana saya, boleh jadi Anda pun menemuinya di sekitar
kita. Ada teman yang dahulunya ketua rohis, kini berubah layaknya preman. Ada
yang dahulunya begitu aktif ikut pengajian, kini alergi dengan hal-hal
keislaman. Ada yang dahulu begitu rapat ia menutup aurat, kini begitu nyaman ia
buka-bukaan. Bahkan ada pula yang dahulu ikut sholat dengan khusyuknya, namun
kini berpindah agama, menyembah selain Allah yang Esa.
Dan begitulah cara syaithan menyesatkan anak adam.
Sebagaimana kisah katak yang direbus, begitulah manusia dijerumuskan
perlahan-lahan, begitu sadar semuanya sudah terlambat. Luka fisik, rasa, isak
tangis, penjara, hamil luar nikah, ataupun cacat seumur hidup sungguh masih tak
ada apa-apanya dibanding panasnya nyala neraka akibat tiadanya taubat. Sesal di dunia masih ada obatnya, sesal di akhirat hendak kemana kita lari dari
siksaNya?
Maka sebelum terlambat, sudah saatnya kita bangun, tanggap,
sadar, dan segera melompat dari panci dosa-dosa kecil, sebelum panasnya membuat
kita kian terlena, lalu binasa. Mengutip nasehat sahabat saya, pada akhirnya
kita harus sadar bahwa ini bukan soal besar kecilnya sebuah maksiat, namun yang
terpenting ialah, kepada siapa kita bermaksiat?
Sumber
http://www.kisahinspirasi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar