Alkisah sebelum Allah
swt menciptakan akal dan nafsu yang hendak diletakkan dalam diri Adam
alaihissalam terlebih dahulu Allah menguji keduanya agar kelak dikemudian hari
Adam dan anak cucunya tahu fungsi dari keduanya, cara menggunakan dan
menaklukkan keduanya.
Saat Allah
menciptakan akal, Allah bertanya kepada akal:
“Siapakah
kamu, siapakah Aku ?”
“Saya
hamba, Engkau Tuhan.” Jawab akal
Kemudian
Allah memerintahkankan akal agar maju ke depan dan mundur ke belakang. Akal
mematuhi perintah Allah. Hal ini menunjukkan bahwa akal begitu taat kepada
Allah.
“Wahai
akal, sesungguhnya Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia ketimbang
dirimu” Puji Allah terhadap akal.
Setelah itu Allah
menciptakan nafsu. Ketika Allah bertanya kepada nafsu: “Hai nafsu, siapa
engkau, siapa Aku ?”
Nafsu
menjawab dengan sikap membantah, “Engkau Engkau, aku aku.”
Karena
itulah Allah murka kepadanya dan memberikan didikan kepada nafsu agar insaf.
Allah memasukkan nafsu kedalam neraka jahannam selama 100 tahun, ia dipukul dan
dibakar hingga hangus menjadi arang. Kemudian setelah nafsu dikeluarkan dari
neraka, Allah bertanya lagi kepadanya,
“Hai
nafsu, siapa engkau, siapa Aku ?”
Nafsu
menjawab dengan sikap membantah, “Engkau Engkau, aku aku.”
Nafsu
belum sadar akan penciptaannya, Allah perintahkan agar nafsu dipenjarakan
selama 100 tahun dengan tidak diberi makan atau pun minum, keadaan nafsu saat
itu benar-benar lemah karena lapar dan dahaga. Setelah genap 100 tahun Allah
keluarkan nafsu dari ruang tahanan “lapar dan dahaga” Allah bertanya lagi
kepadanya,
“Siapa
engkau, siapa Aku?”
Setelah
semua itu, barulah nafsu mengenal Tuhannya, ia menjawab, “Engkau Tuhan, aku
hamba”
Ternyata untuk
mengalahkan nafsu yang ada dalam diri manusia tidak perlu dibakar, dipukul
melainkan dengan dikarantina dalam penjara “lapar dan dahaga” atau yang
kemudian dikenal dengan nama PUASA.
“Sesungguhnya syaitan itu bergerak mengikuti aliran darah, maka persempitlah jalan syaitan dengan lapar dan dahaga.” (HR. Mutafaq ‘Alaih) [1]Setelah itu Allah memasukkan akal dan nafsu ke dalam diri Adam alaihissalam dan saat Nabi Adam datang ke bumi, keturunan manusia bertambah banyak. Maka peranan nafsu dan akal tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kemungkaran yang terjadi di atas muka bumi ini adalah dari nafsu, bukan dari akal. [2]
Karena akal dan nafsu
ada dalam diri manusia, maka terjadilah pertentangan antara keduanya.
Peperangan nafsu dan akal tidak pernah ada henti-hentinya. Kadang-kadang nafsu
yang menang, kadang-kadang akal yang menang. Buktinya, jika kita berhadapan
dengan perbuatan yang baik, maka nafsu akan menolaknya dan mengajak kepada
kejahatan sedangkan akal mengajak kepada kebaikan. Kalau kita mengikuti nafsu,
artinya kita kalah. Sebaliknya, jika kita mengikuti akal maka kita menang.
Namun bagaimanapun
nafsu tetap diperlukan oleh manusia. Bila nafsu musnah, manusia juga akan
musnah. Sebagai contoh adalah nafsu makan. Nafsu makan tidak akan hilang karena
merupakan fitrah alami manusia. Jika nafsu makan tidak ada, manusia akan mati.
Begitu juga dengan nafsu terhadap lawan jenis. Jika nafsu ini tidak ada, maka
manusia tidak akan berketurunan.
Pernah seorang
sahabat datang kepada Rasulullah dan memberitahukan bahwa ia ingin membunuh
nafsunya agar ia dapat bersungguh-sungguh berjuang. Tetapi Rasulullah melarang
karena Rasulullah sendiri juga berumah tangga dan beliau menyukai jika umatnya
mempunyai keturunan yang banyak. Pernah juga ada seorang sahabat yang
mengatakan kepada Rasulullah bahwa ia ingin berpuasa terus menerus agar dapat
lebih berbakti kepada Allah. Rasulullah juga melarangnya karena Baginda sendiri
juga berpuasa dan berbuka. Rasulullah juga tetap bermasyarakat dan berjuang
untuk menegakkan kehidupan di dunia dan dan Akhirat. Jadi, Rasulullah memberi
jalan tengah. Nafsu ini tetap diperlukan untuk manusia. Akan tetapi, jangan
sampai salah langkah sehingga membawa kita ke Neraka. Rasulullah bersabda
tentang nafsu ini,
“Ada dua lubang yang
dapat menyebabkan seseorang masuk ke Neraka, yaitu lubang faraj dan lubang
mulut.”
(Riwayat Tirmidzi) [3]
Nafsu juga dapat kita
jadikan kuda untuk ke Syurga. Sebagian orang jika mendengar kata nafsu, hanya
terbayang hal-hal yang jahat saja. Sedangkan nafsu itu adakalanya jahat,
adakalanya baik. Nafsu akan menjadi baik jika dilatih. Imam Al Ghazali
mengibaratkan nafsu itu sebagai anjing, jika dilatih akan menjadi baik. [4]
Diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas ra, bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
§ Setiap
sesuatu memiliki alat dan mesin, alat orang-orang mukmin adalah akalnya
§ Setiap
sesuatu memiliki kendaraan, kendaraan orang-orang mukmin adalah akalnya
§ Setiap
sesuatu memiliki tiang penyangga, tiang penyangga agama adalah akal
§ Setiap
kaum memiliki bendera, benderanya hamba-hamba Allah adalah akalnya
§ Setiap
kaum memiliki penyeru, penyeru orang-orang ahli ibadah adalah akalnya
§ Setiap
pedagang memiliki harta dagangan, harta dagangan para Mujtahid adalah akalnya
§ Setiap
keluarga memiliki nilai, nilai keluarga orang-orang jujur adalah akalnya
§ Setiap
kehancuran terdapat pembangunan, pembangunan akhirat terletak pada akal
§ Setiap
seseorang memiliki kesudahan yang membuatnya dikenang dan diingat, Kesudahan
yang membuat dikenang dan diingat orang-orang jujur terletak pada akalnya
§ Setiap
orang bepergian memiliki tenda menginap, tenda orang-orang mukmin adalah
akalnya. (HR. Ibnu Mujbir dan alHarits). [ Ihyaa’ I/84-85 ].
Ya Ilahi, Jadikan
selalu akalku sebagai pemenang dalam mengalahkan nafsu yang selalu menuntunku
durhaka terhadap-Mu, jadikan RAMADHAN ini sebagai sarana untuk melunakkan
nafsuku demi menggapai Ridho-Mu dan sarana kembali mengenal-Mu.. Aamiin Yaa
Robbal 'Aalamiin...
Catatan ini di buat pada 03 Agustus 2010 jam 10:48 dan
alhamdulillah banyak menyebar di internet...^^
1. Disebutkan dalam Kitab Ihya’ I/232,
Berkata al-‘Iraaqy “Hadits ini riwayatnya mutafaq ‘alaih dari Shafiyyah kecuali
pada kalimat maka persempitlah jalan syaitan dengan lapar dan dahaga, ini
landasan kalangan sufi.
2. Hikayah terdapat pada kitab Durrah
an-Naashikhiin Hal. 13
3. Ibnu Maajah menganggap shahih hadits
ini dari riwayat Abu Hurairoh (Ihyaa’ ‘Uluumiddin III/109)
4. Ihyaa’ ‘Uluumiddin III/173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar