Manusia adalah
makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis. Adalah normal jika
manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa
mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan motif-motif lainnya,
seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran, bahkan beberapa
pihak ada yang sedikit peduli dengan kelestarian norma etik-sosial sehingga
merumuskan konsep “Pacaran Islami”.
Cinta dalam Islam
tidak dilarang, karena ia berada diluar kendali manusia. Dalam Al-Quran
disebutkan:
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita
(Q.S Ali-Imran 14)
Redaksi ayat diatas
menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang yang
sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Bahkan, cinta
merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya
sesuai dengan norma syari’at. Islam dengan universalitas ajarannya telah
mengatur hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal, tak
terkecuali hubungan antara dua muda-mudi yang sedang dirundung asmara.
Diakui atau tidak,
rasa cinta dapat mendorong terhadap perubahan perilaku seseorang yang sedang
dilandanya. Bahkan terkadang dapat memotifasi terhadap tingkah laku buruk
(tidak sesuai dengan syari’at). Seribu cara ia lakukan demi mewujudkan
keinginannya. Disisi lain, terkadang ada seseorang merasa sulit untuk
mengungkapkan isi hatinya. Akhirnya, Atas nama cinta, perasaan yang selalu
terpendam diungkapkan melalui via SMS atau facebook atau jejaring sosial lain
yang sejenis.
Bagaimana Islam
mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang dilanda asmara? Adakah konsep
“Pacaran Islami” dalam tradisi Islam? Bolehkah PDKT via HP, facebook dan lain
sebagainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Marilah kita simak uraian
singkat dibawah ini!
Definisi Pacaran
Istilah “pacaran”
secara harfiah tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Secara umum, tidak
cukup kiranya jika kata “pacaran” hanya didefinisikan dengan pertemanan,
berduaan ditempat yang sepi, atau diartikan dengan makan jagung berduaan,
nonton bareng, ngobrol atau apel setiap malam minggu kerumah sang kekasih. Kata
“pacaran” lebih tepat jika diartikan dengan hubungan kemesraan antara dua
sejoli yang saling memadu kasih. Sebab konotasi dari kata ini lebih mengarah
kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal.
Sepasang kekasih bisa dikategorikan sedang berpacaran, sekurang-kurangnya
apabila keduanya pernah bergandengan tangan. Dengan demikian, tidak berlebihan
kiranya jika istilah pacaran dianggap bid’ah dalam tradisi Islam.
Dipihak lain, sangat
tidak tepat jika kata pacaran diidhafah-kan(disandarkan) dengan kata
“Islam”. Sebab jika kita mendengar istilah “Pacaran Islami”, maka secara
axiomatic (badihi), akan timbul persepsi bahwa Islam telah melegalkan
pacaran yang selama ini menjadi momok penghancur generasi muda yang taat beragama.
Padahal konsep "Pacaran Islami" justru ditengarai menjadi perangkat
untuk merusak jiwa para generasi muda Islam. Sebab secara tidak langsung,
mereka akan lebih berani dan terdorong untuk memperluas wilayah pergaulan bebas
antar lawan jenis tanpa mengetahui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at
Islam. Akibatnya, akan terjerumus dalam “cinta terlarang”. Bahkan mereka tidak
sadar bahwa semua itu sebenarnya merupakan virus yang dikemas dalam bungkus
agama. Tentunya kita masih ingat dengan acara Take me out yang ditayangkan oleh
salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Dalam acara tersebut, kita
jumpai istilah “Ustadz Cinta”, sebuah istilah baru yang secara esensial sulit
untuk kita definisikan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut.
Sangat tidak logis jika kata “Ustadz” disandarkan pada kata “Cinta”. Sebab
konotasi kata “ustadz” adalah seorang guru ngaji. Dan masih banyak lagi
istilah-istilah baru yang tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam, bahkan
terkesan ingin menghancurkan budaya Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan
sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu:
كلمة حق اريد بها باطل
Pernyataan tersebut
merupakan bantahan atas semboyan لا
حكم الا لله yang diusung oleh kaum Khawarij karena ketidaksetujuan mereka
terhadap kebijakan sahabat Ali yang menerima arbitrase (tahkim). Semboyan
tersebut memang benar, namun ditafsirkan lain oleh mereka.
Dalam konteks ini,
Islam telah mengenalkan prosedur yang sangat indah dan proporsional yang
mengatur hubungan antara lawan jenis, yaitu konsep khitbah.
Khitbah, Solusi Berpahala
Pernikahan dapat
terjalin dengan penuh rasa kepercayaan bila didasari pengetahuan akan karakter
masing-masing dari dua sejoli. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar tempat
berlabuh hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang menyatukan
antara sepasang manusia dalam satu bahtera rumah tangga yang bertanggung jawab,
hak dan kewajiban bersama untuk membina dan mengarungi mahligai cinta
menyambung estafet kehidupan, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh baginda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Agar nilai sakralitas sebuah
pernikahan tetap terjaga, maka posisi khitbah sangat urgen untuk menjembatani
kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi
fundamental khitbah hanya sebagai media ta’aruf (saling mengenal), maka
legalitas kedekatan hubungan ini sangat terbatas.
Para ulama sepakat
bahwa khithbah sebelum nikah hukumnya diperbolehkan. Namun mereka berbeda
pendapat apakah khithbah hukumnya sunah ataukah hanya diperbolehkan saja?
Pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa khithbah hukumnya
sunah. Mereka beralasan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah
melamar (Khitbah) Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar ibn khaththab.
Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, tidak disunahkan.
Para fuqaha sepakat
bahwa seorang pria yang bertujuan untuk menikahi seorang wanita diperkenankan
terlebih dahulu melihatnya meskipun pihak wanita tidak memberi izin. Ibn
Qudamah mengatakan: “Saya tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat tentang
diperbolehkan melihat perempuan bagi seseorang yang hendak menikahinya”.
Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah),
mengatakan bahwa hukum melihat tersebut adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
اُنْظُرْ
إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَدُوم بَيْنكُمَا المَوَدَّةُ وَالأُلْفَةُ
“Lihatlah dia, karena
hal itu lebih layak melestarikan rasa cinta dan sayang diantara kalian berdua”
(HR. Ibn Hibban.
Sebaliknya, seorang
perempuan juga dianjurkan untuk melihat calon suami sebagai pendamping
hidupnya. Bahkan terkait dengan persoalan ini, Ibn Abidin mengatakan seorang
wanita lebih berhak dari pada laki-laki, sebab bagi seorang laki-laki mempunyai
peluang besar untuk meninggalkan wanita yang tidak dicintainya, berbeda halnya
dengan seorang perempuan, ia akan kesulitan untuk mencari pengganti yang lebih
ideal ketika menemukan ketidakserasian dalam diri sang suami.
Hukum diperbolehkan
melihat di atas, dalam pandangan mayoritas ulama, hanya dikhususkan bagi orang
yang mengetahui secara pasti atau minimal punya dugaan kuat lamarannya akan
diterima. Sehingga apabila peluang cintanya ditolak lebih besar dari pada
diterima, maka ia dilarang untuk melihat calon pendamping hidupnya.
Menurut mayoritas
ulama, dalam proses seleksi karakter calon pendamping, seseorang hanya
diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan (dhohir dan bathin) meskipun
khawatir akan menimbulkan fitnah atau syahwat. Hal ini juga dapat dilakukan
hingga berulang kali –tiga kali atau lebih- sampai yakin dan menemukan karakter
calon pendamping yang ideal selama tetap menjaga aturan-aturan syara’, seperti
tidak terjadi khalwah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini,
sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagian tubuh perempuan
yang boleh dilihat pada saat khitbah tidak terbatas pada wajah dan kedua
telapak tangan saja. Toleransi ini, dalam pandangan mereka, lebih luas hingga
pada bagian-bagian yang menurut umumnya terlihat, seperti wajah, telapak
tangan, leher, telapak kaki, kepala dan betis. Mereka beralasan, karena ada
kebutuhan dan hadits yang menegaskan tentang diperbolehkan melihat wajah adalah
bersifat mutlak. Abu Dawud ad-Dhahiri mengatakan bahwa calon suami
diperbolehkan melihat seluruh anggota badan. Namun pendapat Ini adalah pendapat
munkar dan syadz (keluar dari ketentuan syariat), sebab akan menimbulkan
fitnah.
Penjajakan karakter
pasangan juga dapat dilakukan dengan cara mengutus seorang perempuan atau
laki-laki yang halal melihatnya, untuk selalu meneliti perihal perempuan yang
hendak ia nikahi. Atau juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi dengan orang
yang lebih mengetahui perihal calon pendamping hidupnya. Bagi pihak yang
dimintai konsultasi wajib untuk membeberkan semua keburukan-keburukan yang
tidak dapat ditolelir. Membuka aib dalam konteks ini bukanlah sebuah larangan
selama ada niat untuk saling memberi nasehat antar sesama, bukan dalam rangka
menyakiti perasaan orang lain.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Islam telah mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang
jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas, atau diistilahkan dengan
“Pacaran Islami” yang hanya dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah,
namun hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai luhur dan dihiasi dengan
fitrah keindahahan.
PDKT Via Sms, Facebook serta Sosial Media Sejenisnya
Sebagai muslim sejati
yang komitmen dan patuh dengan ajaran agama, tidak jarang ujian dan kendala
datang menghambat dan menghadang jalan suluknya kepada sang ilahi Rabbi. Tak
ketinggalan generasi muda penerus perjuangan bangsa dengan segala perbedaan
latarbelakang pendidikanya juga harus berpegang teguh dan tahan banting
menghadapi beragam godaan syeitan. Secara psikologis, generasi muda lebih suka
hidup berfoya-foya dan menyalurkan hasrat seksual dengan cara apapun.
Belum lama ini, kita diingatkan dengan tragedi heboh “Sms Zina” dan pengaruh buruk facebook yang melanda muda-mudi negara tercinta. Tidak sedikit gadis-gadis yang tidak berdosa menjadi korban keganasan laki-laki hidung belang (bejat). Penculikan, pencabulan dan pemerkosaan gadis di bawah umur sempat menjadi tranding topic salah satu media masa. Ironisnya, perbuatan yang melanggar norma agama ini, baik dilakukan atas dasar suka sama suka atau karena dipaksa, terjadi akibat beberapa baris kalimat yang ditulis dalam sebuah pesan singkat.
Belum lama ini, kita diingatkan dengan tragedi heboh “Sms Zina” dan pengaruh buruk facebook yang melanda muda-mudi negara tercinta. Tidak sedikit gadis-gadis yang tidak berdosa menjadi korban keganasan laki-laki hidung belang (bejat). Penculikan, pencabulan dan pemerkosaan gadis di bawah umur sempat menjadi tranding topic salah satu media masa. Ironisnya, perbuatan yang melanggar norma agama ini, baik dilakukan atas dasar suka sama suka atau karena dipaksa, terjadi akibat beberapa baris kalimat yang ditulis dalam sebuah pesan singkat.
Sungguh benar kata
pepatah “memandang (pandangan), lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam,
kemudian bercakap-cakap, berjanji dan akhirnya bertemu”.
Diakui atau tidak,
interaksi antar lawan jenis melalui media apapun sangat berbahaya, lebih-lebih
bagi orang yang lemah imannya dan dangkal wawasan keilmuannya. Meningkatnya
prosentase pergaulan bebas, kenakalan remaja dan degradasi moral timbul akibat
kurangnya pengetahuan tentang norma-norma agama.
Dalam rangka meraih
kesuksesan PDKT, tidak jarang para mania sms dan facebooker sejati melakukan
obral janji, tebar pesona, dan mengeluarkan jurus “rayuan gombal”. Lebih-lebih
jika isi tulisannya memancing dan membangkitkan nafsu birahi. Hobi mereka
adalah menggoda, mempermainkan dan menyakiti perasaan wanita. Bahkan sebagian
dari mereka ada juga yang berperan sebagai playboy gadungan yang tidak
bertanggung jawab karena memilki semboyan “habis manis sepah dibuang”.
Imam Ibn Hajar
al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari (Syarh Sahih al-Bukhari) mengatakan
bahwa berbicara dengan wanita diperbolehkan hanya dalam kondisi dharurat saja.
Di dalam Is’ad al-Rafiq disebutkan “Salah satu diantara berbagai macam maksiat
adalah melakukan sesuatu yang dapat berpotensi menimbulkan keharaman”.
Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengatakan melakukan sesuatu yang menurut umumnya (ada
dugaan kuat) menimbulkan kemaksiatan adalah maksiat. Menurutnya, sebuah maksiat
tidak harus wujud secara real.
Demikianlah gambaran
dampak negatif PDKT dan pergaulan lawan jenis yang melanggar norma syari’at.
Bermula dari situ ada salah satu forum bahtsul masail yang memutuskan bahwa
PDKT via sms, facebook dan lain sebaginya tidak diperbolehkan karena dapat
menimbulkan hal-hal negatif. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Referensi:
· Hasyiah
AL-Jamal vol. IV hlm. 120
· Fath
al-Mu’in vol III hlm 298-299
· Al-Fiqh
al-Islami vol. IX hlm 6507
· I’anah
al-Tholibin vol. III hlm 299
· Hasyiah
Al-Bajuri vol. II hlm 101
· Tafsir
al-Qurthubi vol. XVI hlm. 340-341
· Ihya’
Ulum al-Din vol. II hlm. 160
· Is’ad
al-Rafiq vol. II hlm. 93
· Fath
al-Bari vol. I hlm 238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar