Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

Join us on Facebook

Side Ads

Cari Blog Ini

My Facebook

.

.

Alqur'an, Tafsir, Terjemah dan Wanita Haid

Minggu, 05 Juli 2015

 Pengertian Alqur’an secara etimologi (bahasa)

Ditinjau dari bahasa, alqur’an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah alqur’an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.

Pengertian Alqur’an secara terminologi (istilah islam)

Secara istilah, alqur’an diartikan sebagai kalam Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat Jibril dan mambaca alqur’an dinilai ibadah kepada Allah swt.


Alqur’an adalah murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad saw. Alqur’an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia. Alqur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Di dalam alqur’an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Alqur’an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang.

Dari pengertian di atas diketahui bahwa alqur’an merupakan media ibadah yang ringan karena pelaksanaannya bisa kapanpun dan di manapun, namun memiliki nilai pahala yang patut untuk diperhitungkan, apalagi saat Ramadhan seperti sekarang ini, tentu pahalanya akan semakin berlipat ganda. Tidak demikian dengan para wanita, ada satu waktu dimana mereka mengalami haid. Sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahwa di antara hal yang menghalangi seseorang untuk menjalankan ibadah, termasuk membaca alqur’an adalah haid. Ketika mengalami haid tersebut, tentu mereka terhalang untuk membaca alqur’an sehingga peluang untuk menabung pahala dari alqur’anpun akan tertahan.

Apa yang telah dijabarkan di atas adalah ketentuan untuk cetakan alqur’an yang murni, alias tidak ada tafsir atau terjemahannya. Lalu, apakah ketentuannya akan sama untuk tafsir alqur’an dan terjemahannya ???. Berikut ulasan singkatnya,

Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidiin disebutkan:

(مسألة ى) يُكْرَهُ حَمْلُ التّفْسِيْر ومَسُّه إِنْ زَادَ على القُرْآن وإلَّا حرم. وتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءةِ ولَوْ مَعَ غَيْرِهَا لاَ مَعَ الإِطْلاَقِ عَلى الرّاجِحِ ولاَ بِقَصْدِ غَيْرِ القِرَاءةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وتَعْلِيْمٍ وتَبَرُّكٍ ودُعَاءٍ .

“Makruh membawa dan memegang tafsir yang jumlah hurufnya melebihi huruf qur’annya, bahkan haram jika jumlah hurufnya lebih sedikit dari qur’annya. Dan haram membaca alqur’an bagi orang-orang yang dalam keadaan junub dan sejenisnya (orang yang berhadats besar) bila bertujuan untuk membacanya meskipun alqur’annya bersama tulisan lain, tapi tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat. Juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa.” [Bughyah al-Mustarsyidiin hal. 26].

Kesimpulan :
-     Membaca alquran bagi wanita haid hukumnya haram, kecuali bila tidak terdapat unsur qoshdul qiroáh (bertujuan membaca alqur’an) seperti bertujuan membenarkan bacaan yang salah, mengajarkan alqur’an, mencari keberkahan atau berdoa.
-     Memegang/membawa alqur’an yang ada tafsirnya bagi wanita haid hukumnya haram kecuali bila jumlah huruf tafsirnya lebih banyak ketimbang huruf alqur’annya, maka hukumnya makruh. Dengan catatan tidak memegang/menyentuh bagian tulisan alqur’annya.
Sedangkan untuk masalah memegang/membawa alqur’an yang ada terjemahnya, mutlak haram kecuali saat ia menghawatirkan tersia-siakannya alqur’an [1]. Dalam Kitab Nihayah Az-zein disebutkan,

أمَّا تَرْجَمَةُ المُصْحَفِ المَكْتُوْبَةِ تَحْتَ سُطُوْرِهِ فَلَا تُعْطَى حُكْمَ التَّفْسِيْرِ بَلْ تَبْقَى لِلْمُصْحَفِ حُرْمَةُ مَسِّهِ وحَمْلِهِ كَمَا أَفْتَى بِه السيّد أَحْمَدُ دَحْلَان حَتّى قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ كِتَابَةَ تَرْجَمَةِ المُصْحَف حَرَامٌ مُطْلَقاً سَوَاءٌ كاَنَتْ تَحْتَهُ أَمْ لَا فَحِيْنَئِذٍ يَنْبَغِي أَنْ يُكْتَبَ بَعْدَ المُصْحَفِ تَفْسِيْرُهُ بِالعَرَبِيّةِ ثُمّ يُكْتَبُ تَرْجَمَةُ ذَلِكَ التَّفْسِيْرِ

“Terjemah Alquran yang ditulis di bawahnya tidak bisa disamakan dengan hukum tafsir alqur’an (dimana kalau jumlah huruf qur’annya lebih banyak ketimbang huruf tafsirnya tidak boleh dipegang oleh orang yang menanggung hadats). Hukum yang berlaku untuk terjemah alqur’an sama dengan alqur’an dalam arti tidak boleh dibawa/dipegang oleh orang yang hadats, seperti yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Bahkan sebagian ulama menyatakan menerjemah alqur’an di bawahnya atau di mana saja hukumnya haram secara mutlak, karena sebaiknya ditulis qur’annya dulu baru ditulis tafsirnya kemudian baru diterjemahkan tafsirnya.” (Nihayah Az-zain I/33).

Sedikit tambahan,
Kalau ketentuan untuk orang yang berhadats besar termasuk wanita haid terkait alqur’an adalah demikian, apakah bagi mereka yang berhadats kecil juga sama???. Jawabnya adalah, sama, kecuali dalam masalah membaca alqur’an. Bagi orang yang berhadats kecil diperbolehkan untuk membaca al’qur’an tanpa menyentuh dan membawanya.
Wallaahu A'lamu Bishshawaab




Catatan :
[1]. Disebutkan dalam kitab Faidhul Khabir,

إعلم أن الترجمة لغة النقل وعرفا قسمان : ترجمة معنوية تفسيرية وهي عبارة عن بيان معنى الكلام وشرحه بلغة أخرى من غير تقييد بحرفية النظم ومراعاة أسلوب الأصل وترتيبه .فيض الخبير : .٢٣
.أما الترجمة التفسيرية المعنوية لأحكامه فجائزة اتفاقا بشرط التثبت في النقل والتحري لأقوال الصحابة والتابعين و علماء السنة فيكون تفسيرا موجزا صحيحا كافيا على قدر المستطاع و يعتبر بيانا لا قرأنا و تبليغا لأحكامه لا معجزا و تبيانا. فيض القدير ص : ٢٦

Ada yang mengatakan bahwa terjemah yang ada sekarang ini termasuk terjemah tafsiriyah ma'nawiyah, karena terjemah tersebut diambil dari tafsir yang diakui maka bisa dikategorikan juga sebagai tafsir, sehingga hukumya sama seperti tafsir murni. Sebagaimana ketentuan di atas, jika jumlah hurufnya lebih banyak ketimbang qur’annya maka boleh memegang/membawanya.
Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak Cukup Hanya Lapar Dan Dahaga

Jumat, 03 Juli 2015

Sebagian orang beranggapan bahwa keridho-an Allah di bulan Ramadhan bisa didapatkan hanya dengan menahan lapar dan dahaga mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari waktu maghrib. Padahal tidak demikian, karena puasa adalah suatu ibadah yang sangat sempurna yang memiliki beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka mustahil Allah akan ridho dengan apa yang telah dikerjakannya. Alih-allih mendapat pahala yang berlipat ganda, justru yang ia dapatkan hanyalah siksaan yang berupa lapar dan dahaga di dunia, dan lebih parah lagi siksaan yang pedih kelak di akhirat.

Ibnu Majah telah meriwayatkan satu hadits dari Abu Hurairah radhiyallallahu anhu, beliau berkata, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : ”Banyak sekali orang-orang yang berpuasa, yang dia dapatkan dari puasanya itu hanya lapar dan dahaga. Dan banyak sekali orang yang qiyamullail (ibadah diwaktu malam), yang dia dapatkan dari ibadahnya itu hanya terjaga di waktu malam.” (H.R Ibnu Majah)

Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita berpuasa untuk membersihkan diri kita dari nafsu-nafsu yang kotor kemudian menghiasinya dengan akhlaq yang terpuji sehingga mata batin kita menjadi jernih. Allah sebutkan dalam alqur’an tentang tujuan puasa ini adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al Baqarah : 182)

Dan inilah puasa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Imam Bukhari meriwayatkan satu hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : “Barang siapa yang tidak mau meninggalkan perkataan dan pekerjaan bohong, maka Allah tiada peduli dengan apa yang diusahakannya dengan meninggalkan makan dan minum (puasanya).” (H.R Imam Bukhori)

Dalam riwayat yang lain sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu juga menyebutkan,
“Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala berfirman (dalam hadits qudsi) : “Semua amal ibadah manusia bagi mereka sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah hakku dan Aku yang akan melipat gandakan pahalanya sesuai kehendak-Ku. Dan puasa merupakan perisai (yang menghalangi gerak nafsu), maka ketika datang masa puasa salah seorang diantara kalian, janganlah ia berkata yang kotor dan membentak-bentak. Jika ada yang memaki atau memusuhinya maka hendaklah ia berkata, “saya adalah orang yang sedang berpuasa”. (H.R Imam Bukhori)

Maka dari itu, jagalah selalu puasa kita dan sempurkanlah ibadah kita. Sadarilah bahwa pahala yang dijanjikan untuk orang-orang yang berpuasa hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang bisa menahan diri mereka dari perilaku yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, tidak hanya dengan menahan lapar dan dahaga seharian.

Coba sejenak kita renungkan,
Apa yang telah kita kerjakan seharian ini… masihkah kata-kata kotor keluar dengan begitu mudahnya dari mulut ini, masihkah pandangan-pandangan jahil yang menuntun mata ini, masihkah tangan dan kaki ini bergerak sekehendak diri mengikuti nafsu yang semakin menjadi-jadi…

Duh Gusti… berilah hamba-Mu ini kekuatan agar mampu melewati sisa waktu yang Engkau berkahi, mengisinya dengan hal-hal yang membahagiakan-Mu dan Membahagiakan Kekasih-Mu, Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Amin.
 
Powered by Telu Wolu 38

Most Reading

Jadwal Waktu Sholat