Sebagaimana kita
ketahui bahwa uang yang beredar di masyarakat tidak selamanya jatuh dalam
genggaman tangan-tangan orang islam. Seringkali uang yang merupakan alat
tukar-menukar barang ini juga singgah dan bersarang untuk beberapa lama dalam
genggaman orang-orang non muslim yang notabene tidak memperhatikan masalah
najis atau sucinya suatu barang, bahkan untuk bahan makanan mereka. Lalu
bagaimanakah sebenarnya hukum kesucian uang tersebut? Bolehkah kita membawanya
ketika melaksanakan sholat?.
Mengenai najis
atau tidaknya suatu benda, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba alawiy memaparkan
sebuah kaidah yang pernah dikemukakan oleh Sayyid Abdullah bin Umar bin Abu
Bakar bin Yahya,
كُلُّ عَيْنٍ لَمْ
تَتَيَقّنْ نجَاَسَتُهَا لَكِنْ غَلَبَت النَّجَاسَةُ فِي جِنْسِهَا كَثِيَابِ
الصِّبْيَانِ وجَهَلَةِ الجَزّارِيْنَ والْمُتَدَيّنِيْنَ مِنَ الكُفَّارِ
بِالنَّجَاسَةِ كَأَكْلِهِ الخَنَازِيْرِ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ فِيْهَا
الْعَمَلُ بِالْأَصْلِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ
“Setiap benda yang belum diketahui secara pasti tentang kenajisannya akan tetapi ada kemungkinan besar (biasanya) terkena najis, seperti pakainnya anak-anak, para tukang jagal yang tidak mengenal hukum, dan orang-orang kafir yang makanan kesehariannya adalah makanan yang najis seperti daging babi, pendapat terkuat mengatakan bahwa hukum benda tersebut adalah suci, sebab mengikuti hukum asal suatu benda adalah suci.”
Dalam hal ini hukumnya dikembalikan pada hukum asal
suatu benda, yaitu suci selama tidak ada keyakinan akan najisnya benda
tersebut. Sehingga keraguan akan najisnya benda tersebut tidak dapat
mempengaruhi hukum asalnya. Dalam satu kaidah fiqih disebutkan,
اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ
بِالشَّكِّ
“suatu keyakinan tak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan”.
Kaidah ini
merupakan kesimpulan dari sabda baginda rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
عن عَبْدِ اللهِ بْن زَيْدٍ
-رضي الله عنه- أنَّهُ قَالَ: شُكِيَ إلَى النَّبِي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ، فَقَالَ صَلّى
الله عَلَيْه وسَلّم: (لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَجِدَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا).
رواه الشيخان
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid
radhiyallahu anhu, beliau berkata: “ada seseorang yang diadukan kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa dia (dalam shalatnya) merasa
seakan-akan menemukan sesuatu (buang angin-kentut), maka rasulullah shallallhu
alaihi wasallam bersabda : “janganlah orang tersebut meninggalkan shalatnya
(membatalkannya) sampai dia benar-benar yakin bahwa dia hadats, dengan
mendengar suara atau mencium baunya”. H.R Bukhari – Muslim
وكُلُّ عَيْنٍ تَيَقَّنَّا
نَجَاسَتُهَا وَلَوْ بِمُغَلَّظٍ ثُمَّ احْتَمَلَ طَهَارَتُهَا وَلَوْ عَلَى
بُعْدٍ لَا تَنْجُسُ مُلَاقَاتُهُ
“Setiap benda yang diketahui secara pasti (yaqin) tentang kenajisannya meskipun terkena najis mugholladzoh kemudian ada kemungkinan sucinya benda tersebut meskipun dengan kemungkinan yang sangat jauh (suci dengan suatu proses yang sangat langka), maka menyentuh benda tersebut tidak dihukumi terkena najis.”
Namun demikian
beliau menambahkan suatu kalimat susulan yang berbunyi,
نَعَمْ يُكْرَهُ
إِسْتِعْمَالُ كُلِّ مَا احْتَمَلَ النَّجَاسَةُ عَلَى قُرْبٍ
“Akan tetapi makruh hukumnya menggunakan benda-benda yang kemungkinan besar terkena najis.”
Kesimpulan:
Shalat dengan
mengantongi uang adalah:
- Boleh dan sah tanpa adanya kemakruhan, jika tidak ada keyakinan akan najisnya uang tersebut (yakin bahwa uang yang dibawa tidak najis).
- Sah tapi makruh, jika tahu bahwa uang yang dibawa baru saja berpindah tangan dari orang yang biasanya bersinggungan dengan najis.
- Tidak sah dan haram, jika yakin (dengan cara melihat sendiri atau mendapat kabar dari orang yang bisa dipercaya) bahwa uang tersebut terkena najis.
Wallahu
a’lam bishshawab.